Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona
<div style="display: none;"> </div> <div style="display: none;"> </div> <p>Neurona merupakan satu-satunya jurnal yang memuat perkembangan penelitian dan kasus terbaru bidang neurosains di Indonesia. Jurnal ini diterbitkan setiap 3 bulan sekali oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSNI) Pusat di Indonesia.</p> <p>Sudah terakreditasi oleh kementrian pendidikan tinggi sejak tahun 2015 No.12/M/Kp/II/15 dan terindeks pada Google Scholar, Science and Technology Index (SINTA) dan Garba Rujukan Digital (GARUDA).</p>PERDOSNIid-IDMajalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia0216-6402MULTIPEL ANOMALI PADA DANDY-WALKER CONTINUUM: SEBUAH LAPORAN KASUS
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/519
<p><em>Dandy-Walker Continuum</em> (DWC) adalah spektrum kelainan neurologis bawaan langka yang memengaruhi perkembangan serebelum. Kelainan yang terjadi umumnya berkaitan dengan sindroma serebelum tetapi pada kenyataannya dapat memengaruhi perkembangan otak secara luas. Dilaporkan sebuah kasus DWC pada anak usia 4 tahun, yang lahir dengan hidrosefalus komunikan dan epilepsi, yang telah menjalani operasi pemasangan VP-Shunt. Pada hasil skrining perkembangan,pasien menunjukkan suatu Global Delay Developmental (GDD) dan gangguan penglihatan. Menurut pemeriksaan funduskopi, ditemukan adanya papil atrofi primer di kedua mata. Pemeriksaan dengan flash VEP menunjukkan tidak ada respon selama stimulasi dilakukan, yang menunjang suatu agenesis nervus optic. Kelainan tersebut terjadi akibat terganggunya keseluruhan perkembangan neuron pada trimester pertama, selain itu juga akibat komplikasi cedera jaringan otak terkait hidrosefalus, hingga komplikasi dari tindakan medis yang diberikan. Oleh karena itu, sebuah tim multidisiplin akan sangat membantu dalam mengenali berbagai dampak lain dari gejala klasik DWC.</p>I Komang Reno Sutam,a
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2025-06-102025-06-1041210.52386/neurona.v41i2.519SINDROMA NEUROLEPTIK MALIGNA: LAPORAN KASUS JARANG
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/630
<p><strong>Abstrak</strong></p> <p><strong>Latar Belakang</strong>: Sindroma Neuroleptik Maligna (SNM) merupakan sindrom yang jarang terjadi, sekitar 0.01% sampai 3.3% , pasien yang mengalami SNM sering terjadi pada usia muda yang berjenis kelamin laki-laki (2:1). SNM memiliki 4 gejala yaitu hiperpireksia, kaku otot, perubahan mental serta ketidakstabilan autonom.</p> <p><strong>Laporan Kasus: </strong>MI, 16 tahun, dengan bicara melantur sejak 3 hari SMRS. Pasien memiliki riwayat dirawat inap dengan dokter psikiater selama 2 hari dengan obat pulang Risperidone 2x1mg dan Haloperidol 2x5mg. Temuan bermakna berupa terjadi leukositosis (19.500) dan peningkatan enzim hati (SGPT 65). Pada hari ke-7 perawatan, pasien yang semula gaduh gelisah dan bicara melantur mendadak mengalami gejala tidak bisa bergerak, liur menjadi banyak disertai tidak bisa menelan kemudian pemberian haloperidol 2x2.5mg dihentikan dan menunjukkan adanya perbaikan kondisi secara bertahap.</p> <p><strong>Diskusi: </strong>Sindroma neuroleptik maligna jarang terjadi namun dapat menyebabkan morbiditas dan kematian. Pada pemeriksaan MI terjadi leukositosis (19.000) dan peningkatan enzim hati (SGPT 65), sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Micheal Kiyingi, et al. (2020) yang menyatakan bahwa pasien yang terdiagnosis SNM akan mengalami leukositosis dan peningkatan enzim hati. Belum ada guideline penatalaksanaan SNM namun pada pasien kami dilakukan penghentian konsumsi risperidone serta haloperidol dan mengalami perbaikan klinis secara bertahap. Hal ini sesuai dengan penelitian Ling Deng, et al (2022) yang menyatakan bahwa risperidone dan haloperidol dapat menyebabkan SNM sehingga dalam pengobatan SNM, obat-obatan tersebut harus dihentikan. Pada kasus ini menunjukkan bahwa diagnosis serta penatalaksanaan dini serta tepat pada kasus SNM sangat penting untuk mendapatkan outcome klinis yang baik serta menghindari missdiagnose yang mengakibatkan kecacatan dan kematian.</p> <p><em>Kata kunci: Sindroma neuroleptik maligna, antipsikotik, pediatrik</em></p>sari said
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2025-06-102025-06-1041210.52386/neurona.v41i2.630HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN KEJADIAN STROKE DI RSUD KHZ MUSTHAFA TASIKMALAYA 2023
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/646
<p><strong>Pendahuluan:</strong> Menurut data Riskesdas tahun 2018, prevalensi stroke di Indonesia menunjukkan kemungkinan peningkatan global di tahun-tahun mendatang seiring bertambahnya usia populasi. Dilihat dari karakteristik jenis kelamin, prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 8,8% dan perempuan 7,9%, menunjukan hanya sedikit perbedaan, dengan laki-laki sedikit lebih rentan terkena stroke.</p> <p><strong>Tujuan: </strong>Mengetahui hubungan antara karakteristik usia dan jenis kelamin dengan kejadian stroke di RSUD KHZ Musthafa Tasikmalaya Tahun 2023.</p> <p><strong>Metode: </strong>Desain penelitian ini menggunakan studi retrospektif observasional. Data diperoleh melalui data sekunder berupa rekam medis pasien yang menjalani rawat inap di RSUD KHZ Musthafa tahun 2023. Sampel diambil secara total sampling. Data diuji menggunakan uji chi-square.</p> <p><strong>Hasil: </strong>Penderita stroke iskemik dan perdarahan terbanyak pada usia 45-64 tahun. Penderita stroke perdarahan lebih banyak terjadi pada perempuan, sedangkan stroke iskemik jumlah kejadian pada perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda.</p> <p><strong>Diskusi:</strong> Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara usia dengan kejadian stroke perdarahan dan iskemik. Usia di atas 45 tahun memiliki risiko 12 kali lipat lebih tinggi terkena stroke perdarahan dan 24 kali lipat terkena stroke iskemik dibandingkan dengan usia di bawah 45 tahun. Jenis kelamin tidak memiliki hubungan signifikan dengan kejadian stroke perdarahan, sedangkan untuk stroke iskemik, perempuan menunjukkan risiko lebih rendah dibandingkan laki-laki.</p> <p><strong>Kata Kunci: </strong>Jenis Kelamin, Stroke, Usia</p>nasyifa nurul
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2025-06-102025-06-1041210.52386/neurona.v41i2.646PERBEDAAN LUARAN MOTORIK PASIEN SINDROMA GUILLAIN BARRE DENGAN TERAPI IVIG DAN PLASMAFERESIS
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/744
<p><strong>ABSTRAK</strong></p> <p><strong>Pendahuluan:</strong></p> <p>Sindroma Guillain-Barré (SGB) adalah polineuropati akut akibat proses autoimun, ditandai kelemahan motorik progresif yang berpotensi fatal. Terapi pada SGB berat (skala disabilitas ≥3) adalah immunoterapi, baik immunoglobulin intravena (IVIg) maupun plasmaferesis. Penelitian sebelumnya menunjukan IVIg dan plasmaferesis memiliki efektifitas setara pada populasi mayoritas subtipe demyelinisasi, namun penelitian pada SGB subtipe aksonal menunjukan terapi IVIg memiliki luaran motorik yang lebih baik dibandingkan plasmaferesis. Namun sejauh pengetahuan kami, penelitian semacam itu belum pernah dilakukan di Indonesia.</p> <p><strong>Tujuan: </strong></p> <p>Mengevaluasi perbedaan luaran motorik pasien SGB yang mendapat terapi IVIg dibandingkan plasmaferesis.</p> <p><strong>Metode: </strong></p> <p>Penelitian potong lintang retrospektif dilakukan pada rekam medis pasien dewasa dengan diagnosis SGB periode November 2020 hingga September 2024. Data karakteristik klinis dan skor motorik Medical Research Council (MRC) saat masuk dan pulang dianalisis. Luaran motorik dikategorikan “baik” (MRC ≥36) atau “buruk” (MRC <36).</p> <p><strong>Hasil: </strong></p> <p>Dari 141 pasien SGB, 12 menerima IVIg dan 47 menjalani plasmaferesis, dan sisanya menerima terapi suportif dan roboransia. Mayoritas adalah subtipe aksonal (43,3%). Proporsi luaran motorik baik lebih tinggi pada kelompok IVIg (83,3%) dibandingkan kelompok plasmaferesis (59,6%), walau tidak bermakna secara statistik. Skor MRC awal yang lebih rendah, dan skor mEGOS serta skor EGRIS yang lebih tinggi berhubungan dengan luaran lebih buruk.</p> <p><strong>Diskusi: </strong></p> <p>Hasil ini mengindikasikan kecenderungan IVIg memberikan luaran motorik yang lebih baik, khususnya pada SGB subtipe aksonal. Identifikasi dini subtipe SGB dapat bermanfaat dalam pengambilan keputusan terapi. Studi prospektif dengan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk memvalidasi hasil ini.</p> <p><strong>Kata Kunci: </strong></p> <p>IVIg, Luaran Motorik, Plasmaferesis, Sindroma Guillain-Barré, Skor MRC</p> <p> </p>Wulantika Nurhayati
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2025-06-102025-06-1041210.52386/neurona.v41i2.744Hubungan Kualitas Tidur terhadap Kejadian Migrain pada Mahasiswa Preklinik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/644
<p>Latar Belakang: Nyeri kepala menempati peringkat ketiga penyebab years lived with disability (YLD) dengan 88,2% dari 46,6 juta kasus YLD disebabkan oleh migrain. Mahasiswa kedokteran tingkat preklinik masih beradaptasi di lingkungan belajar yang relatif lebih padat sehingga mereka cenderung memiliki kualitas tidur yang tidak optimal. Kualitas tidur yang kurang baik dapat menjadi salah satu faktor pemicu migrain. Penelitian ini berfokus kepada hubungan kualitas tidur terhadap kejadian migrain pada mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (FKIK UAJ).<br>Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi potong lintang. Pengambilan data dilakukan pada 212 mahasiswa preklinik FKIK UAJ yang meliputi angkatan 2020, 2021, dan 2022. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner PSQI dan MS-Q. Kemudian, teknik pengambilan data dilakukan dengan simple random sampling dengan uji Chi square.<br>Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan 109 dari 212 mahasiswa (51,4%), memiliki kualitas tidur yang buruk dengan 55 (25,9%) mahasiswa diantaranya mengalami migrain. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kualitas tidur dan kejadian migrain pada mahasiswa FKIK UAJ dengan nilai p<0,001.<br>Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara kualitas tidur dengan migrain pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya angkatan 2020, 2021, dan 2022.<br>Kata Kunci: Kualitas tidur, Migrain, Mahasiswa kedokteran</p>Aiko CaldinoYulia Tanti NarwatiPoppy Kristina Sasmita
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2025-06-102025-06-1041210.52386/neurona.v41i2.644Menggali Potensi Terapi Sekretom Mesenchymal Stem Cell untuk Penyakit-penyakit Neurologi
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/797
<p>Ranah neurologi regeneratif berkembang pesat—dan sekretom serta eksosom dari mesenchymal stem cell (MSC) kini menempati</p> <p>posisi terdepan dalam inovasi terapi. Terapi aselular ini, yang kaya akan molekul bioaktif dan vesikel ekstraseluler, menawarkan</p> <p>potensi besar untuk menangani kompleksitas penyakit neurologis tanpa risiko yang terkait dengan transplantasi sel.</p> <p>Berbagai penelitian preklinis telah menunjukkan bahwa terapi sekretom MSC mampu meredakan peradangan, mendorong</p> <p>perbaikan jaringan saraf, dan meningkatkan fungsi neurologis. Efek ini tercatat baik pada kondisi akut seperti stroke dan cedera otak</p> <p>perinatal, maupun penyakit kronis seperti Alzheimer, Parkinson, multiple sclerosis, dan amyotrophic lateral sclerosis. Terapi ini telah</p> <p>diujikan melalui berbagai metode pemberian, termasuk intravena, intranasal, hingga injeksi lokal, dengan fleksibilitas waktu</p> <p>pemberian sesuai fase penyakit.</p> <p>Pada manusia, data awal dari uji klinis menunjukkan bahwa terapi ini umumnya aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Sejumlah</p> <p>studi tengah berlangsung untuk mengevaluasi efektivitasnya pada berbagai gangguan saraf, termasuk demensia dan gangguan gerak.</p> <p>Meskipun hasilnya masih awal, temuan sementara memberikan harapan akan manfaat klinis yang nyata.</p> <p>Namun, tantangan penting masih harus diatasi—mulai dari penentuan dosis optimal, frekuensi pemberian, hingga standarisasi dan</p> <p>produksi sekretom/eksosom dalam skala besar. Meski begitu, kemajuan yang pesat di bidang ini menunjukkan bahwa sekretom MSC</p> <p>berpotensi menjadi bagian penting dalam terapi regeneratif sistem saraf.</p> <p>Kedepannya, jika bukti klinis terus menunjukkan hasil positif, terapi sekretom dan eksosom MSC bisa menjadi alternatif aman,</p> <p>efektif, dan non-invasif bagi pasien yang saat ini memiliki pilihan pengobatan yang terbatas. Ini bisa menjadi lompatan besar menuju</p> <p>era baru pengobatan yang lebih personal, presisi, dan berbasis regenerasi untuk penyakit-penyakit neurologi.</p>Mawaddah Ar Rochmah
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2025-06-102025-06-1041210.52386/neurona.v41i2.797