https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/issue/feedMajalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia2025-12-02T11:05:37+07:00Mawaddah Ar Rochmahneurona.perdossi@gmail.comOpen Journal Systems<div style="display: none;">Â </div> <div style="display: none;">Â </div> <p>Neurona merupakan satu-satunya jurnal yang memuat perkembangan penelitian dan kasus terbaru bidang neurosains di Indonesia. Jurnal ini diterbitkan setiap 3 bulan sekali oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSNI) Pusat di Indonesia.</p> <p>Sudah terakreditasi oleh kementrian pendidikan tinggi sejak tahun 2015 No.12/M/Kp/II/15 dan terindeks pada Google Scholar, Science and Technology Index (SINTA) dan Garba Rujukan Digital (GARUDA).</p>https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/859KONSEP BARU DALAM BIOLOGI MOLEKULER PADA NEUROPATI DIABETIK PERIFER2025-12-02T05:40:54+07:00I Putu Eka Widyadharmaeka.widyadharma@unud.ac.idBryan Gervais de Liyisbryan.gervais@student.unud.ac.id2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/862PERAN LABELATOL DALAM MANAJEMEN HIPERTENSI EMERGENSI PADA STROKE AKUT2025-12-02T06:27:22+07:00Ismail Setyopranotoismail.setyopranoto@ugm.ac.idAbdul Gofirabdulgofir@gmail.comParyonoParyono@gmail.com2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/865VERTIGO SENTRAL: TINJAUAN TERKINI MENGENAI PATOFISIOLOGI DAN STRATEGI DIAGNOSIS2025-12-02T09:49:03+07:00Sri Sutarniprofsrisutarni@ugm.ac.idCempaka Thursina Srie Setyaningrumcsetyaningrum@gmail.comMawaddah Ar Rochmahmar@gmail.comHalwan Fuad Bayuanggahalwan@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Perkembangan terkini telah mengubah lanskap klinis dan pemahaman patofisiologi vertigo sentral secara fundamental, bergeser dari model batang otak yang sederhana menuju pemahaman kontemporer mengenai jaringan vestibular sentral yang terdistribusi luas. Jaringan ini, yang mencakup batang otak, serebelum, talamus, dan korteks, menjadi kerangka kerja konseptual untuk menjelaskan bagaimana stroke, demielinasi, atau kelainan fungsional dapat menimbulkan beragam gejala vertigo. Secara paralel, pendekatan diagnostik pun telah berkembang pesat. Inovasi dalam uji motorik okular kuantitatif, seperti uji HINTS yang diperkuat dengan </span><em><span style="font-weight: 400;">video-head impulse test (vHIT)</span></em><span style="font-weight: 400;">, memungkinkan identifikasi penyebab sentral dengan sensitivitas tinggi pada fase akut. Lebih lanjut, teknik pencitraan mutakhir, termasuk </span><em><span style="font-weight: 400;">diffusion-weighted imaging (DWI)</span></em><span style="font-weight: 400;"> dan MRI dinding pembuluh darah </span><em><span style="font-weight: 400;">(vessel wall MRI)</span></em><span style="font-weight: 400;">, telah merevolusi deteksi infark fossa posterior yang tersamar dan patologi vaskular. Kemajuan dalam pemahaman mekanistik dan teknologi ini juga memberikan perspektif baru mengenai beberapa sindrom spesifik, seperti memperkuat hipotesis bahwa migrain vestibular dan </span><em><span style="font-weight: 400;">persistent postural-perceptual dizziness (PPPD)</span></em><span style="font-weight: 400;"> merupakan gangguan sentral pada integrasi sensorik. Dengan demikian, integrasi paradigma patofisiologi modern berbasis jaringan dengan alat diagnostik mutakhir akan meningkatkan standar perawatan, menuju peningkatan akurasi diagnostik yang signifikan, memungkinkan intervensi yang cepat dan tepat, serta menjadi landasan bagi pengembangan terapi di masa depan untuk kasus-kasus vertigo sentral.</span></p> <p><strong>Kata Kunci: </strong><span style="font-weight: 400;">Jaringan vestibular, pemeriksaan HINTS, pencitraan neurologi, sindrom vestibular akut, vertigo sentral</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/868PENDEKATAN KLINIS DAN STRATEGI MANAJEMEN TERKINI PADA NYERI PUNGGUNG BAWAH TIPE CAMPURAN2025-12-02T10:21:37+07:00Whisnu Nalendra Tamawhisnunalendrat@ugm.ac.idYudiyantaYudiyanta@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan salah satu keluhan muskuloskeletal paling umum dan sering menjadi penyebab nyeri kronik. NPB memiliki etiologi kompleks, dengan mekanisme nyeri yang dapat melibatkan komponen nosiseptif, neuropatik, dan nosiplastik secara bersamaan, membentuk kondisi nyeri campuran (</span><em><span style="font-weight: 400;">mixed pain</span></em><span style="font-weight: 400;">). Sejumlah studi menunjukkan bahwa komponen neuropatik tidak jarang ditemukan pada NPB, bahkan tanpa adanya nyeri radikular yang jelas. Pemahaman terhadap mekanisme patofisiologi nyeri campuran sangat penting, termasuk proses sensitisasi perifer dan sentral, serta interaksi antara struktur neural dan non-neural seperti diskus intervertebralis dan sendi faset. Pendekatan klinis terhadap NPB memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang komprehensif, termasuk identifikasi karakteristik nyeri dan </span><em><span style="font-weight: 400;">red flags</span></em><span style="font-weight: 400;">, serta penggunaan kuesioner skrining nyeri neuropatik seperti </span><em><span style="font-weight: 400;">PainDETECT</span></em><span style="font-weight: 400;">, </span><em><span style="font-weight: 400;">Douleur Neuropathique 4</span></em><span style="font-weight: 400;"> (DN4), dan </span><em><span style="font-weight: 400;">ID pain</span></em><span style="font-weight: 400;">. Pemeriksaan penunjang seperti </span><em><span style="font-weight: 400;">Magnetic Resonance Imaging</span></em><span style="font-weight: 400;"> (MRI) dan studi elektrofisiologi dilakukan sesuai indikasi untuk menentukan etiologi dan derajat keterlibatan saraf. Tatalaksana NPB tipe campuran bersifat multimodal, mencakup terapi nonfarmakologi seperti edukasi pasien, rehabilitasi medik, dan koreksi postur, serta terapi farmakologis yang mempertimbangkan kombinasi antiinflamasi dan antinyeri neuropatik. Meskipun kombinasi terapi ini secara teori memberikan manfaat, bukti klinis yang mendukung masih terbatas dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Peningkatan kesadaran klinisi terhadap kemungkinan nyeri campuran pada NPB sangat penting untuk menentukan strategi terapi yang lebih optimal dan presisi untuk meningkatkan luaran klinis pasien.</span></p> <p><strong>Kata kunci:</strong><span style="font-weight: 400;"> nyeri punggung bawah, nyeri campuran, sensitisasi sentral, manajemen multimodal, terapi berbasis mekanisme</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/871PENDEKATAN TERKINI DALAM DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA NEUROSIFILIS2025-12-02T10:55:17+07:00Sekar Satitissatiti@gmail.comHalwan Fuad Bayuanggahalwan@gmail.comBardatin Lutfi Aifabardatiin@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Neurosifilis merupakan manifestasi infeksi </span><em><span style="font-weight: 400;">Treponema pallidum</span></em><span style="font-weight: 400;"> pada sistem saraf pusat yang dapat terjadi pada setiap tahap sifilis. Penyakit ini tetap menjadi perhatian global seiring meningkatnya insidensi sifilis, terutama pada individu dengan koinfeksi </span><em><span style="font-weight: 400;">human immunodeficiency virus</span></em><span style="font-weight: 400;"> (HIV). Spektrum manifestasi klinisnya yang luas dan sering tidak spesifik menjadikan diagnosis serta tatalaksananya sebagai tantangan klinis yang signifikan. Artikel ini meninjau pendekatan terkini dalam diagnosis dan tata laksana neurosifilis berdasarkan pedoman terbaru dari </span><em><span style="font-weight: 400;">Centers for</span></em> <em><span style="font-weight: 400;">Disease Control and Prevention</span></em><span style="font-weight: 400;"> (CDC)</span><em><span style="font-weight: 400;">, </span></em><a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/09564624241280387"><em><span style="font-weight: 400;">British</span></em><strong><em> </em></strong><em><span style="font-weight: 400;">Association of Sexual Health and HIV</span></em></a><span style="font-weight: 400;"> (BASHH), dan </span><em><span style="font-weight: 400;">European Guidelines</span></em><span style="font-weight: 400;">. Diagnosis neurosifilis ditegakkan melalui integrasi antara gejala klinis, pemeriksaan serologis treponemal dan nontreponemal, serta analisis cairan serebrospinal (CSS). Penisilin G parenteral selama 10-14 hari tetap menjadi terapi lini pertama di seluruh pedoman internasional. Seftriakson, doksisiklin, atau kombinasi amoksisilin dan probenecid dapat digunakan sebagai regimen alternatif pada pasien dengan alergi penisilin, meskipun desensitisasi penisilin tetap direkomendasikan bila memungkinkan. Kortikosteroid, seperti prednisolon, dapat diberikan sebagai profilaksis untuk mencegah reaksi Jarisch–Herxheimer. Pemantauan pascaterapi melalui evaluasi klinis, serologis, dan CSS secara berkala diperlukan untuk memastikan eradikasi infeksi serta mencegah reinfeksi. Pendekatan diagnostik yang komprehensif, deteksi dini, terapi yang adekuat, serta pemantauan jangka panjang merupakan kunci keberhasilan dalam meningkatkan luaran klinis pasien dengan neurosifilis.</span></p> <p><strong>Kata kunci:</strong><span style="font-weight: 400;"> neurosifilis, </span><em><span style="font-weight: 400;">Treponema pallidum</span></em><span style="font-weight: 400;">, diagnosis neurosifilis, penisilin G, seftriakson</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/860SKOR RISIKO POLIGENIK, STATUS APOE, DAN TERAPI DENGAN TARGET AMILOID PADA PENYAKIT ALZHEIMER2025-12-02T06:03:49+07:00Amelia Nur Vidyantiamelia.nur.v@ugm.ac.idRifki Habibi Rahmanrhrahman@gmail.comAstutiastutisps@yahoo.co.id2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/863PERAN CLINICAL PATHWAY DALAM PERAWATAN STROKE2025-12-02T06:36:02+07:00ParyonoParyono@gmail.comEdina Ufairah AnindhitaEdina@gmail.comMawaddah Ar Rochmahmar@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Stroke merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian global, sehingga memerlukan tata laksana yang komprehensif, terstruktur, dan berbasis bukti di sepanjang </span><em><span style="font-weight: 400;">continuum of care</span></em><span style="font-weight: 400;">. </span><em><span style="font-weight: 400;">Clinical pathway</span></em><span style="font-weight: 400;"> (CP) adalah protokol terpadu multidisiplin yang mengoperasionalkan pedoman ke praktik sehari-hari—mulai dari prenotifikasi prarumah sakit, triase gawat darurat, terapi fase akut, rehabilitasi dini, hingga perencanaan pemulangan. Tinjauan naratif ini merangkum rasional, langkah penyusunan, komponen inti, serta bukti klinis implementasi CP pada perawatan stroke. Elemen kunci </span><em><span style="font-weight: 400;">pathway</span></em><span style="font-weight: 400;"> meliputi target waktu kritis (misal pencitraan otak cepat untuk kandidat reperfusi), penilaian terstandar (misal </span><em><span style="font-weight: 400;">National Institutes of Health Stroke Scale / </span></em><span style="font-weight: 400;">NIHSS), paket pencegahan komplikasi (skrining disfagia, profilaksis tromboemboli vena, kontrol glukosa dan suhu), rencana mobilisasi dan nutrisi, edukasi pasien-keluarga, serta koordinasi tindak lanjut, yang seluruhnya diintegrasikan dengan audit/pelacakan varian untuk perbaikan mutu berkelanjutan. Bukti menunjukkan CP dapat menurunkan komplikasi intrarumah sakit, memperpendek lama rawat, menekan biaya, meningkatkan kelengkapan dokumentasi, memperkuat kepatuhan pada pedoman, serta meningkatkan kepuasan pasien dan kolaborasi tim. Dampak terhadap luaran keras (mortalitas, disabilitas jangka panjang) lebih bervariasi dan dipengaruhi kesiapan unit stroke, ketersediaan sumber daya, pelatihan tim, serta adaptasi lokal. Secara keseluruhan, CP tetap menjadi alat strategis dalam sistem pelayanan stroke terorganisir untuk menerjemahkan evidens menjadi perawatan yang tepat waktu, terkoordinasi, dan terus membaik dari sisi mutu serta efisiensi.</span></p> <p><strong>Kata Kunci: </strong><em><span style="font-weight: 400;">Clinical pathway</span></em><span style="font-weight: 400;">, stroke, kedokteran berbasis bukti, perawatan multidisiplin, luaran pasien</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/866FAKTOR PROGNOSIS: TUMOR OTAK PRIMER DAN SEKUNDER2025-12-02T09:58:49+07:00Kusumo Dananjoyokdanan@gmail.comRusdy Ghazali Maluekarghazal@gmail.comBriliansy Briliansy@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Tumor otak merupakan kelompok penyakit dengan heterogenitas biologis dan klinis yang tinggi, sehingga prognosis sangat bervariasi meskipun diagnosis histopatologis serupa. Penentuan prognosis yang akurat berperan penting dalam pemilihan terapi yang sesuai, pencegahan </span><em><span style="font-weight: 400;">overtreatment</span></em><span style="font-weight: 400;"> maupun </span><em><span style="font-weight: 400;">undertreatment</span></em><span style="font-weight: 400;">, serta perencanaan perawatan paliatif dan suportif. Berbagai faktor prognostik memengaruhi kesintasan pasien, meliputi faktor klinis (usia, status fungsional, lokasi tumor, dan derajat reseksi), radiologis (ukuran, edema, pola penyangatan, difusi dan perfusi MRI), histopatologis (derajat WHO, subtipe histologi), serta biomolekuler (</span><em><span style="font-weight: 400;">IDH mutation, 1p/19q co-deletion, MGMT promoter methylation, ATRX loss, EGFR amplification, TERT mutation</span></em><span style="font-weight: 400;">). Pada high-grade glioma, status IDH mutan, MGMT termetilasi, dan ko-delesi 1p/19q berkorelasi dengan prognosis lebih baik, sementara peran </span><em><span style="font-weight: 400;">microRNA</span></em><span style="font-weight: 400;"> seperti miR-15b dan miR-221 semakin diakui sebagai penanda biologis potensial. Pada meningioma, tingkat reseksi total (Simpson derajat 1–3) menurunkan risiko kekambuhan dibanding reseksi subtotal, sedangkan pada metastasis otak prognosis ditentukan oleh usia, </span><em><span style="font-weight: 400;">Karnofsky Performance Status</span></em><span style="font-weight: 400;">, jumlah lesi, serta kontrol tumor primer. Dengan demikian, estimasi prognosis bukan hanya sekadar angka kesintasan, melainkan landasan penting dalam perancangan terapi individual, alokasi sumber daya, dan komunikasi efektif dengan pasien dan keluarga, yang pada akhirnya mendukung implementasi terapi personalisasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pasien.</span></p> <p><strong>Kata Kunci:</strong><span style="font-weight: 400;"> Faktor prognostik, glioma, meningioma, metastasis otak, tumor otak</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/869PROFIL SEROLOGI MYASTHENIA GRAVIS: TINJAUAN ATAS TIPE, KARAKTERISTIK, DAN RELEVANSI KLINIS AUTOANTIBODI2025-12-02T10:30:31+07:00Ahmad Asmediaasmedi@gmail.comHalwan Fuad Bayuanggahalwan@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun pada persambungan neuromuskular yang ditandai dengan kelemahan otot dan fatikabilitas. Pemahaman mengenai profil serologi MG merupakan kunci diagnosis dan tata laksana yang tepat. Tinjauan pustaka ini membahas tipe dan karakteristik autoantibodi pada MG serta relevansi klinisnya. Autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin (Anti-AChR) adalah yang paling umum, ditemukan pada sebagian besar MG generalisata, dan patogenesisnya melibatkan modulasi antigen, blokade ligan, serta aktivasi komplemen. Subtipe ini memiliki korelasi kuat dengan kelainan timus seperti hiperplasia dan timoma. Autoantibodi terhadap MuSK dan LRP4 mendefinisikan subtipe MG lainnya dengan fenotipe klinis yang khas. MG-MuSK sering menunjukkan gejala bulbar berat, sedangkan MG-LRP4 cenderung lebih ringan. Pendekatan diagnostik yang dianjurkan adalah algoritmik, dimulai dari pemeriksaan Anti-AChR, diikuti Anti-MuSK dan Anti-LRP4 pada kasus seronegatif. Pemetaan profil serologi ini memungkinkan neurolog untuk melakukan diagnosis yang presisi, memprediksi perjalanan penyakit, dan menentukan strategi terapi yang personal, termasuk pemilihan imunomodulator dan evaluasi untuk timektomi. Dengan demikian, klasifikasi serologi telah menjadi fondasi dari pendekatan neurologi presisi dalam menangani myasthenia gravis.</span></p> <p><strong>Kata Kunci: </strong><span style="font-weight: 400;">Anti-AChR, Anti-LRP4, Anti-MuSK, Myasthenia gravis, Timoma</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/872APLIKASI KLINIS N-ACETYLCYSTEINE PADA STROKE ISKEMIK AKUT2025-12-02T11:05:37+07:00Ismail Setyopranotoismail.setyopranoto@ugm.ac.idBardatin Lutfi Aifabardatiin@gmail.comSekar Satitissatiti@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Strategi farmakologis untuk meningkatkan reperfusi pada stroke iskemik akut saat ini sangat bergantung pada penggunaan </span><em><span style="font-weight: 400;">recombinant tissue plasminogen activator</span></em><span style="font-weight: 400;"> (rtPA) yang bekerja melalui aktivasi kaskade fibrinolitik. Meskipun efektivitas klinisnya telah terbukti, rtPA tidak secara signifikan memengaruhi komponen non-fibrin dari trombus, sehingga tingkat rekanalisasi arteri dini tetap rendah (~30%), terutama pada kasus dengan trombus kaya trombosit. Selain itu, penggunaan rtPA meningkatkan risiko perdarahan intraserebral yang dapat membatasi rasio manfaat terhadap risikonya. Oleh karena itu, diperlukan agen trombolitik alternatif yang mampu melarutkan trombus arteri tanpa meningkatkan risiko perdarahan. </span><em><span style="font-weight: 400;">Von Willebrand factor</span></em><span style="font-weight: 400;"> (vWF) berperan penting dalam hemostasis primer, dan peningkatan kadar vWF plasma diketahui berkaitan dengan tingginya risiko trombosis arteri. Pendekatan terapeutik yang menargetkan vWF menawarkan potensi baru dalam melisiskan trombus kaya trombosit, karena mekanismenya bersifat independen dari jalur aktivasi trombosit konvensional. Dalam proses trombosis arteri, multimer vWF memediasi ikatan silang antar trombosit, sehingga proteolisis terhadap vWF berpotensi memisahkan trombus kaya trombosit dan memulihkan aliran darah serebral. </span><em><span style="font-weight: 400;">N-acetylcysteine</span></em><span style="font-weight: 400;"> (NAC) mampu memutus ikatan disulfida multimer vWF, sehingga mempercepat disolusi trombus dan meningkatkan rekanalisasi arteri. Dibandingkan dengan agen antitrombotik konvensional, NAC memiliki profil keamanan yang lebih baik, bahkan pada model stroke hemoragik, sehingga menjadikannya kandidat terapi yang menjanjikan untuk stroke iskemik akut. Selain itu, NAC memiliki efek antioksidan, antiinflamasi, dan neuroprotektif yang mendukung pemulihan jaringan otak dan memperbaiki fungsi neurologis. Dengan demikian, pemberian NAC intravena berpotensi memberikan efek ganda, sebagai agen trombolitik dan neuroprotektan, yang efektif, aman, serta terjangkau, terutama pada populasi dengan keterbatasan akses terhadap rtPA.</span></p> <p><strong>Kata kunci</strong><span style="font-weight: 400;">: </span><em><span style="font-weight: 400;">N-acetylcysteine</span></em><span style="font-weight: 400;">, </span><em><span style="font-weight: 400;">von Willebrand factor</span></em><span style="font-weight: 400;">, trombolitik, neuroprotektan, stroke iskemik akut</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/861CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING POLYRADICULONEUROPATHY: KONSEP TERKINI DALAM PATOFISIOLOGI2025-12-02T06:13:51+07:00Macho Marcellomachomarcello25@gmail.comIndra Sari Kusuma Harahapnishio@med.kobe-u.ac.jp<p><em><span style="font-weight: 400;">Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP) is an autoimmune disorder characterized by progressive or relapsing symmetric proximal and distal weakness and sensory deficits lasting over 8 weeks. Its pathophysiology is complex and heterogeneous, involving both cellular immunity (T-cell and macrophage infiltration across the blood-nerve barrier, causing demyelination via cytokines and phagocytosis) and humoral immunity, including complement activation. While macrophage-induced demyelination is a key feature, the specific autoantibody triggers are not fully identified. The 2021 European Academy of Neurology/Peripheral Nerve Society (EAN/PNS) guidelines classify CIDP into typical and variant forms, which exhibit different patterns of demyelination reflecting a variable dominance of cellular versus humoral immune responses. Recent research highlights autoantibodies against nodal/paranodal proteins (e.g., neurofascin-155, contactin-1). Patients with these antibodies often have distinct clinical phenotypes and a partial response to intravenous immunoglobulin (IVIg), leading to their reclassification in the guidelines as separate "autoimmune nodopathies." This refined understanding of CIDP's diverse immunopathogenesis is crucial for developing more specific diagnostic and therapeutic strategies.</span></em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em><span style="font-weight: 400;">CIDP, demyelination, immunopathogenesis, EFNS/PNS diagnostic criteria, autoimmune nodopathy</span></em></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/864TROMBEKTOMI MEKANIS DAN TROMBOLISIS INTRAARTERI PADA STROKE ISKEMIK: FOKUS PADA LUARAN KLINIS2025-12-02T09:36:51+07:00Rakhian Listyawanrlistiawan@gmail.comTommy Rachmat Setyawantrsetyawan@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Trombektomi mekanis telah menjadi rekomendasi standar terapi untuk stroke iskemik akut akibat oklusi pembuluh darah besar. Serangkaian uji klinis fundamental telah menunjukkan superioritas trombektomi mekanis dalam mencapai kemandirian fungsional (skor </span><em><span style="font-weight: 400;">modified Rankin Scale </span></em><span style="font-weight: 400;">[mRS 0-2]) pada 90 hari dibandingkan terapi medis saja. Jendela terapi untuk trombektomi mekanis bahkan telah diperluas hingga 24 jam untuk pasien tertentu berdasarkan pencitraan perfusi. Sedangkan, peran trombolisis intraarteri telah berevolusi dari terapi primer menjadi strategi </span><em><span style="font-weight: 400;">adjunctive</span></em><span style="font-weight: 400;"> atau </span><em><span style="font-weight: 400;">rescue</span></em><span style="font-weight: 400;">, yang digunakan dalam kasus rekanalisasi yang tidak tuntas atau emboli distal pasca trombektomi mekanis. Kedua modalitas terapi ini terus mengalami perkembangan demi meningkatkan perbaikan luaran klinis pada pasien.</span></p> <p><strong>Kata Kunci: </strong><span style="font-weight: 400;">Stroke iskemik, trombektomi mekanis, trombolisis intraarteri, oklusi pembuluh darah besar, luaran klinis.</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/867NYERI KEPALA PASCATRAUMA: TELAAH EPIDEMIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI2025-12-02T10:08:56+07:00Indarwati Setyaningsihisetyaningsih@gmail.comNindriya Kurniandarinindiriya@gmail.comMuhammad Najmi Habibimnajmi@gmail.comDesin Pambudi Sejahteradpambudi@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Nyeri kepala pascatrauma (</span><em><span style="font-weight: 400;">post-traumatic headache, </span></em><span style="font-weight: 400;">PTH) merupakan salah satu komplikasi tersering dari cedera otak traumatik (</span><em><span style="font-weight: 400;">traumatic brain injury, </span></em><span style="font-weight: 400;">TBI)</span> <span style="font-weight: 400;">ringan. Manifestasinya sering menyerupai nyeri kepala primer, seperti migrain atau </span><em><span style="font-weight: 400;">tension-type headache</span></em><span style="font-weight: 400;">, namun memiliki mekanisme patofisiologis yang lebih kompleks dan multifaktorial. Artikel ini bertujuan meninjau aspek epidemiologi dan mekanisme patofisiologis PTH berdasarkan temuan literatur terkini. Secara global, lebih dari 69 juta individu mengalami TBI setiap tahun, dan hingga dua pertiga pasien TBI ringan dilaporkan mengalami PTH. Sebagian besar kasus bersifat sementara, namun sekitar 15–25% berkembang menjadi PTH persisten. Patogenesis PTH melibatkan interaksi antara kerusakan struktural, disfungsi neurometabolik, dan proses neuroinflamasi yang memicu aktivasi sistem trigeminovaskular serta sensitisasi perifer dan sentral. Faktor servikal, mekanisme hiperadrenergik, serta gangguan sistem modulasi nyeri desenden turut memperburuk gejala. Studi pencitraan seperti </span><em><span style="font-weight: 400;">diffusion tensor imaging</span></em><span style="font-weight: 400;"> (DTI), </span><em><span style="font-weight: 400;">Voxel-based morphometry</span></em><span style="font-weight: 400;"> (VBM), dan </span><em><span style="font-weight: 400;">magnetic resonance spectroscopy</span></em><span style="font-weight: 400;"> (MRS) memperkuat bukti adanya kerusakan aksonal, penipisan korteks, serta gangguan metabolisme neuronal yang</span><span style="font-weight: 400;"> berkorelasi dengan persistensi gejala.</span><span style="font-weight: 400;"> Pemahaman mendalam mengenai interaksi antara disfungsi struktural, metabolik, dan inflamasi diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan strategi diagnostik dan terapeutik yang lebih efektif untuk meningkatkan luaran klinis pasien.</span></p> <p><strong>Kata kunci</strong><span style="font-weight: 400;">: nyeri kepala pascatrauma, cedera otak traumatik, neuroinflamasi, sensitisasi sentral, sensisitasi perifer</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesiahttps://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/870PENCEGAHAN PERBURUKAN PADA PENYAKIT PARKINSON: PENDEKATAN FARMAKOLOGIS DAN NON-FARMAKOLOGIS2025-12-02T10:43:00+07:00SubagyaSubagya@gmail.comNovita Nur Rohmannrohma@gmail.comAbdul Gofirabdulgofir@gmail.comMawaddah Ar Rochmahmar@gmail.com<p><span style="font-weight: 400;">Penyakit Parkinson (</span><em><span style="font-weight: 400;">Parkinson’s Disease</span></em><span style="font-weight: 400;">, PD) merupakan gangguan neurodegeneratif kompleks yang bersifat progresif. Mayoritas pasien mengalami perburukan gejala seiring waktu, meskipun laju progresivitasnya bervariasi pada tiap individu. PD adalah penyakit neurodegeneratif tersering kedua di dunia dengan prevalensi lebih dari ~1% pada populasi usia di atas 60 tahun dan meningkat hingga sekitar 5% pada kelompok usia di atas 85 tahun. Insidensi kasus PD terus meningkat secara global seiring pertambahan usia harapan hidup, dan jumlah penderita PD diproyeksikan berlipat ganda pada tahun 2040 dibanding 2015. Meskipun telah banyak kemajuan dalam terapi simtomatik PD, hingga kini belum ada intervensi yang terbukti mampu menghentikan atau membalik proses patologi dasarnya. Kesenjangan terapeutik ini mendorong pentingnya strategi pencegahan progresivitas penyakit untuk mempertahankan kapasitas fungsional dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Tinjauan ini memberikan ulasan mengenai sifat progresif PD, tantangan penatalaksanaan saat ini, serta pendekatan farmakologis dan non-farmakologis yang bertujuan mencegah perburukan lebih lanjut.</span></p> <p><strong>Kata Kunci: </strong><span style="font-weight: 400;">Pencegahan, penyakit Parkinson, progresif, neurodegeneratif</span></p>2025-12-02T00:00:00+07:00Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia