https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/issue/feed
Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2025-12-30T17:02:03+07:00
Mawaddah Ar Rochmah
neurona.perdossi@gmail.com
Open Journal Systems
<div style="display: none;">Â </div> <div style="display: none;">Â </div> <p>Neurona merupakan satu-satunya jurnal yang memuat perkembangan penelitian dan kasus terbaru bidang neurosains di Indonesia. Jurnal ini diterbitkan setiap 3 bulan sekali oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSNI) Pusat di Indonesia.</p> <p>Sudah terakreditasi oleh kementrian pendidikan tinggi sejak tahun 2015 No.12/M/Kp/II/15 dan terindeks pada Google Scholar, Science and Technology Index (SINTA) dan Garba Rujukan Digital (GARUDA).</p>
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/803
ATTRv MIMICKING CIDP: INSIGHTS FROM TWO GENETICALLY CONFIRMED PATIENTS IN A NATIONAL TOP REFERRAL HOSPITAL
2025-12-30T15:43:22+07:00
Luh Ari Indrawati
luhari.indrawati@gmail.com
Antonia Hadiweijaya
antonia230593@gmail.com
Fikry Ichsan Wiguna
fikri.ichsan@ui.ac.id
Cakra Parindra
cakraparindra.neuromd@gmail.com
Ahmad Yanuar Safri
yanuarahmad13@gmail.com
Winnugroho Wiratman
winnugroho.wiratman@gmail.com
Nurul Fadli
kick.fadli@gmail.com
Adrian Ridski Harsono
adrianharsono@gmail.com
Manfaluthy Hakim
hakim.dr.sps@gmail.com
Fitri Octaviana
fitri.octaviana@gmail.com
<p><em>ATTRv adalah penyakit keturunan autosomal dominan yang dapat diobati dan bersifat progresif berat, disebabkan oleh varian patogen pada gen TTR yang menyebabkan deposisi amiloid pada saraf perifer. Terapi TTR stabilizer atau penghambatan ekspresi gen dapat mengurangi pembentukan amiloid. Penyakit ini dapat meniru gambaran chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP), namun tidak responsif terhadap imunoterapi sehingga diagnosis akurat sangat penting.</em></p> <p><em>Kami melaporkan dua pasien laki-laki asal Indonesia yang awalnya didiagnosis CIDP. Kasus pertama mengalami kelemahan distal progresif, kehilangan sensasi, dan disfungsi otonom berat seperti hipotensi ortostatik, disfungsi ereksi, dan penurunan berat badan signifikan. Studi konduksi saraf menunjukkan neuropati sensorik tipe demielinasi dengan keterlibatan motorik, dan pemeriksaan otonom menunjukkan sympathetic skin response (SSR) tidak terdeteksi serta variabilitas denyut jantung (HRV) abnormal. Pasien mendapat tatalaksana suportif, termasuk fludrokortison untuk hipotensi.</em></p> <p><em>Kasus kedua mengalami neuropati sensorimotor distal dengan disfungsi ereksi, inkontinensia urin dan feses, serta luka melepuh tumit berulang tanpa nyeri. Studi konduksi saraf menunjukkan polineuropati sensorimotor tipe aksonal, dan pemeriksaan otonom serta somatosensory evoked potential (SSEP) mengonfirmasi keterlibatan jalur otonom dan sensorik. Pemeriksaan protein serum menunjukkan peningkatan gamma globulin tanpa lonjakan monoklonal. Whole exome sequencing mengidentifikasi varian patogen yang sama pada gen TTR (c.148G>A, p.Val50Met), menegakkan diagnosis ATTRv.</em></p> <p><em>CIDP tidak memiliki biomarker spesifik dan dapat meniru berbagai neuropati. Kelemahan distal dan disfungsi otonom berat harus meningkatkan kecurigaan terhadap ATTRv, terutama jika ada penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Diagnosis banding meliputi neuropati diabetik, nodopati autoimun, neuropati anti-MAG, dan neuropati terkait gamopati monoklonal.</em></p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/821
A DIFFERENT VARIANTS OF PRIMARY PROGRESSIVE APHASIA: A CASE SERIES
2025-07-05T08:57:06+07:00
Davy Putra
jmdavyp@gmail.com
Paulina Thiomas Ulita
pthiomas@gmail.com
<p><strong>Pendahuluan: </strong>Afasia progresif primer (PPA) adalah kelompok gangguan yang terdiri dari varian logopenik (lvPPA), semantik (svPPA), dan nonfluen/agramatik (nfvPPA). Meskipun semakin sering didiagnosis, PPA tetap merupakan sindrom yang langka. Sindrom PPA muncul ketika hemisfer yang dominan bahasa (biasanya kiri) menjadi target utama dari proses neurodegenerasi. Seringkali sulit untuk mengidentifikasi etiologi penyakit neurodegeneratif yang mendasari pada pasien dengan gangguan bicara progresif tersebut. Di sini, kami melaporkan empat kasus PPA dengan varian yang berbeda.</p> <p><strong>Presentasi Kasus: </strong>Tiga pasien berusia sekitar lima puluh tahun didiagnosis dengan PPA varian logopenik, nonfluen dan semantik, sedangkan satu pasien berusia tujuh puluh dua tahun menderita varian logopenik PPA. Keempat pasien ini menunjukkan onset yang perlahan dan perkembangan bertahap berawal dari gangguan bahasa sebagai keluhan awal. Pemeriksaan pencitraan mengungkapkan atrofi kortikal dengan derajat yang bervariasi, terutama terlokalisasi di sisi kiri.</p> <p><strong>Diskusi: </strong>Sindrom PPA didiagnosis ketika tiga kriteria terpenuhi. Pasien harus mengalami onset perlahan dan perkembangan bertahap dari afasia. Afasia harus muncul sebagai gangguan utama dan menjadi faktor utama yang mendasari gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan pemeriksaan diagnostik harus menunjukkan adanya proses neurodegeneratif yang progresif sebagai satu-satunya penyebab yang mendasari. Tiga kasus mengalami demensia dengan onset dini, di mana afasia adalah gejala awal pada keempat kasus. Kami mengklasifikasikan kasus-kasus tersebut ke dalam varian masing-masing melalui kerangka diagnostik. Patologi yang mendasari kasus menunjukkan kemungkinan Alzheimer atau patologi demensia frontotemporal.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Afasia progresif primer, Logopenik, Nonfluent, Semantik</p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/820
EPILEPSI REFRAKTER DENGAN GANGGUAN NEUROPSIKIATRI PADA KOMPLEKS TUBEROSKLEROSIS : KASUS JARANG
2025-12-30T15:56:24+07:00
Hendra Yusirizal
yusirizalhendra@gmail.com
<p><em>Tuberous sclerosis complex </em>(TSC) merupakan sindrom neurokutan autosom dominan berupa munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ<em>.</em> Insidensi gangguan neuropsikiatrik pada TSC sekitar 1:5.800 sampai 1:10.000 kelahiran hidup. TSC teridentifikasi penyebab epilepsi, gangguan kognitif, autisme, dan gangguan perkembangan saraf.</p> <p>Dilaporkan seorang wanita 24 tahun keluhan kejang dengan banyak bentuk bangkitan, dialami sejak umur 7 bulan. Pasien dengan lesi kulit papula multipel daerah hidung disertai autisme. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, <em>elektroensefalography</em> (EEG) menunjukkan gelombang epileptiform pada kedua hemisfer, histopatologi papula daerah hidung menyokong TSC serta pemeriksaan neuroimajing menunjukkan adanya nodul subependimal terkalsifikasi dan multipel tuber korteks. Diagnosis banding termasuk neurofibroma dan <em>Fahr disease</em> telah disingkirkan. Penanganan pemberian obat anti kejang yang tepat pada epilepsi refrakter telah menunjukkan terkontrolnya kejang<em>.</em></p> <p>TSC terjadi kelainan pada kromosom 9q34 (TSC1) atau kromosom 16p13 (TSC2). Mutasi menyebabkan tidak terbentuknya hamartin atau tuberin yang berfungsi <em>tumor</em> <em>suppressor </em>berikatan dengan kompleks protein mTOR, terganggu dalam mengendalikan supresi pertumbuhan sel menyebabkan pertumbuhan tumor di berbagai organ termasuk di otak berupa nodul subependimal dan tuber kortikal. Diagnosis TSC memerlukan evaluasi klinis, histopatologi jaringan, EEG dan neuroimaging. Penatalaksanaan epilepsi refrakter yang tepat dan efektif mencegah terulangnya kejang serta mencegah gangguan perkembangan dan gangguan neuropsikiatrik. Pentingnya pendekatan multidisiplin untuk mendiagnosis sejak dini dan pengelolaan komplikasi yang ada.</p> <p>Pemberian obat antiepilepsi pada epilepsi refrakter TSC yang tepat dapat mengontrol bangkitan kejang. Manajemen gangguan neuropsikiatrik dengan terapi perilaku serta tatalaksana multidisiplin.</p> <p><strong> </strong></p> <p><strong>Kata kunci</strong>: Epilepsi Refrakter, Kompleks Tuberosklerosis, TAND</p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/806
POST STROKE COGNITIVE IMPAIRMENT IN RURAL HOSPITAL: A COMPARATIVE ANALYSIS OF MOCA-INA AND MMSE
2025-06-23T03:10:36+07:00
Valeria Rumondang Silalahi
valeria_silalahi@yahoo.co.id
<p><strong>Introductions: </strong><strong>Post-stroke Cognitive Impairment (PSCI)</strong> is a long-term complication that may occur three months after a stroke. This cognitive impairment can range from mild to severe and may progress to dementia. The Mini-Mental State Examination (MMSE) and the Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) are commonly used screening tools for early detection of cognitive dysfunction due to their simplicity. However, data on their sensitivity in the Indonesian population is still limited.</p> <p><strong>Objectives: </strong>This study aims to compare the proportion of cognitive impairment identified by MMSE and MoCA-Ina in post stroke patients at the Neurology Polyclinic of Hadrianus Sinaga Hospital, Samosir Island.</p> <p><strong>Methods: </strong>This analytical, cross-sectional study was conducted on 49 samples that fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Consecutive sampling was used, and data were analyzed using SPSS version 30.0</p> <p><strong>Results: </strong>Based on sociodemographic characteristics<strong>, </strong>most participants were male (67.3%), over 60 years old, and had a high school education. PSCI was identified in 34.7% of patients using the MMSE, while the MoCA-Ina detected impairment in 81.6%. Among patients with MoCA-Ina scores below 26, 57.5% had MMSE scores of 24 or higher. For severe cognitive impairment, 11 patients had MoCA-Ina scores below 18, seven of them had an MMSE score of 17 or higher. These differences were statistically significant (McNemar’s test, p <.001 and p .016).</p> <p><strong>Conclusion: </strong>MoCA-Ina is more effective than MMSE in detecting early cognitive dysfunction in post stroke patients and may be recommended as a routine screening tool.</p> <p><strong>Keywords: </strong><em>Post-stroke Cognitive Impairment</em>, MMSE, MoCA-Ina.</p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/804
THE RELATIONSHIP OF LEUKOARAIOSIS WITH CLINICAL OUTCOMES OF STROKE FUNCTIONAL AND COGNITIVE FUNCTION IN THROMBOSIS TYPE ISCHEMIC STROKE PATIENTS
2025-07-05T08:45:21+07:00
Lailatul Fadhila
lailatul.fadhila20@gmail.com
<p><strong><em>Pendahuluan: </em></strong><em>Leukoaraiosis adalah kelainan materi putih otak yang terlihat pada gambaran CT scan kepala dan MRI kepala. Leukoaraiosis berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Volume leukoaraiosis yang lebih besar dikaitkan dengan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) yang lebih tinggi saat masuk.</em></p> <p><strong><em>Tujuan:</em></strong><em> Untuk mengetahui hubungan leukaraiosis terhadap luaran klinis fungsional dan fungsi kognitif pasien stroke iskemik tipe trombosis </em></p> <p><strong><em>Metode:</em></strong><em> Penelitian analitik obervasional dengan desain potong lintang. Sampel penelitian diambil berdasarkan teknik sampling konsekutif pada pasien stroke iskemik tipe trombosis yang dirawat di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada Februari 2024 hingga April 2024. Penilaian luaran klinis fungsional menggunakan NIHSS dan fungsi kognitif dinilai berdasarkan Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (MoCa-Ina).</em></p> <p><strong><em>Hasil:</em></strong><em> Diperoleh total 75 sampel yang memenuhi kriteria penelitian. Penelitian didominasi oleh pasien dengan leukoaraiosis (50,7%). Derajat keparahan leukoaraiosis berhubungan kuat dengan arah negatif terhadap luaran klinis fungsional berdasarkan NIHSS (r= -0,602; p= 0,0001) dan fungsi kognitif berdasarkan MoCa-Ina (r= -0,726; p= 0,0001). Nilai titik potong terbaik dari derajat keparahan leukoaraiosis dalam memprediksikan luaran klinis fungsional stroke adalah grade 2 (sensitivitas 56,5%; spesifisitas 86,5%) dan grade 1 untuk memprediksikan fungsi kognitif (sensitivitas 73,1%; spesifisitas 95,7%).</em></p> <p><strong><em>Diskusi: </em></strong><em>Pada penelitian ini didapatkan bahwa derajat keparahan leukoaraiosis berhubungan dengan luaran klinis fungsional dan fungsi kognitif pasien stroke iskemik tipe trombosis dengan hubungan yang kuat dengan arah negatif. Derajat keparahan leukoaraiosis merupakan salah satu prediktor yang baik dalam memperkirakan luaran klinis fungsional dan fungsi kognitif pasien stroke iskemik tipe trombosis.</em></p> <p><strong><em>Kata Kunci: </em></strong><em>Fungsi Kognitif , Leukoaraiosis, MoCa-Ina, NIHSS, Stroke iskemik</em></p> <h2> </h2> <h2> </h2> <p> </p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/815
HUBUNGAN KADAR TRANSFORMING GROWTH FACTOR BETA DENGAN DERAJAT NYERI PADA MIGRAIN DAN TENSION-TYPE HEADACHE
2025-12-30T16:16:23+07:00
Nadya Ayu Ningsih
nadie11nadya@gmail.com
Khairul Putra Surbakti
khairul.putra@usu.ac.id
R. A. Dwi Pujiastuti
raden.ajeng@usu.ac.id
<h1>ABSTRAK</h1> <p><strong>Pendahuluan:</strong> Nyeri kepala primer, yang terutama meliputi <em>Tension-type Headache</em> (TTH) dan migrain, mencakup 90% dari keseluruhan nyeri kepala dan merupakan salah satu penyebab utama kecacatan di seluruh dunia. Migrain dan TTH memiliki patogenesis yang belum sepenuhnya diketahui, dengan salah satu teori mengusulkan mengenai peradangan neurogenik. <em>Human Transforming Growth Factor β</em> (TGF-β) merupakan sitokin pro-inflamasi yang diduga terlibat dalam terjadinya migrain dan TTH.</p> <p> </p> <p><strong>Tujuan: </strong>Untuk mengetahui hubungan antara kadar TGF-β dengan derajat nyeri pada migrain dan TTH.</p> <p> </p> <p><strong>Metode: </strong>Penelitian ini menggunakan desain <em>cross-sectional </em>pada pasien dengan diagnosis migrain dan TTH yang berobat di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Prof. dr. Chairuddin P. Lubis. Kami menggunakan skor <em>Numeric Rating Scale</em> untuk menentukan derajat nyeri dan kit ELISA untuk mengukur kadar TGF-β. Penelitian ini melibatkan 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.</p> <p> </p> <p><strong>Hasil: </strong>Subjek penelitian sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu 22 orang (73,3%), dengan rentang usia 18 hingga kurang dari 26 tahun sebanyak 20 orang (66,7%). Kadar TGF-β rata-rata pasien adalah 0,400±0,531 ng/mL. Rerata derajat nyeri pasien adalah 2,60±2,415. Hasil uji korelasi <em>Spearman </em>menunjukkan adanya korelasi positif moderat (r: 0,523) yang terbukti signifikan dengan <em>p value</em> 0,003 antara nilai TGF-β dengan derajat nyeri pada migrain dan TTH.</p> <p> </p> <p><strong>Diskusi: </strong>Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar TGF-β dengan derajat nyeri pada migrain dan TTH.</p> <p><em> </em></p> <p><strong>Kata Kunci: </strong>derajat nyeri, migrain, TGF-β, TTH</p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/798
MENINGKATKAN PENGETAHUAN PASIEN HIPERTENSI TENTANG PENCEGAHAN STROKE: PERBANDINGAN ANTARA TEMUAN EMPIRIS DAN TINJAUAN SISTEMATIS
2025-10-08T10:50:51+07:00
Rudi Ilhamsyah
rudiilhamsyah@gmail.com
Hanindia Riani Prabaningtyas
hanindiarp.12@staff.uns.ac.id
Han Yang
hanyanghuangg@student.uns.ac.id
<p><strong>Latar Belakang</strong></p> <p>Stroke merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas secara global, terutama di negara berkembang di mana hipertensi merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi secara signifikan. Kesadaran akan faktor risiko stroke di kalangan pasien hipertensi sangat penting untuk strategi pencegahan yang efektif. Hipertensi diakui sebagai faktor risiko utama stroke, berkontribusi terhadap sekitar 70% kasus stroke iskemik di seluruh dunia. Di Indonesia, prevalensi hipertensi cukup tinggi, dengan penelitian yang menunjukkan bahwa 33,4% individu berusia 43,3 tahun terdampak, sehingga menekankan perlunya peningkatan kesadaran dan edukasi mengenai pencegahan stroke.</p> <p> </p> <p><strong>Tujuan Penelitian</strong></p> <p>Tujuan utama penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan pasien hipertensi mengenai pencegahan stroke melalui dua pendekatan: studi empiris di Karanggeneng, Boyolali, dan tinjauan sistematis.</p> <p> </p> <p><strong>Metode Penelitian</strong></p> <p>Penelitian ini menggabungkan studi empiris yang dilakukan di Karanggeneng, Boyolali, dengan tinjauan sistematis yang terdaftar di PROSPERO (ID: CRD420251011016). Studi empiris ini menggunakan desain pre-test dan post-test. Analisis statistik dilakukan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test.</p> <p> </p> <p><strong>Hasil</strong></p> <p>Studi empiris menunjukkan peningkatan skor pengetahuan. Wilcoxon Signed Ranks Test menghasilkan nilai Z sebesar -5.563 dengan signifikansi asimtotik <0.001, yang mengindikasikan peningkatan pengetahuan yang signifikan secara statistik. Tinjauan sistematis melaporkan adanya peningkatan pengetahuan setelah intervensi edukasi, namun masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam kesadaran mengenai faktor risiko stroke dan strategi pencegahannya.</p> <p> </p> <p><strong>Kesimpulan</strong></p> <p>Penelitian ini menekankan pentingnya intervensi edukasi dalam meningkatkan pengetahuan tentang stroke. Temuan dari studi empiris dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa pendidikan dan program kesadaran yang berkelanjutan sangat penting untuk meningkatkan hasil kesehatan dan mengurangi risiko stroke.</p> <p> </p> <p><strong>Kata Kunci</strong>: Stroke, Hypertension, Knowledge, Educational Intervention</p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/805
Gambaran Klinis dan Elektrofisiologi Pasien dengan Sindrom Guillain-Barré di RSUD dr. Zainoel Abidin Periode Januari-Mei 2025
2025-10-08T14:36:11+07:00
Warzukni
warzukni241@gmail.com
<p><strong>Pendahuluan: </strong>Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan neuropati perifer akut yang ditandai dengan kelemahan otot progresif dan arefleksia. Manifestasi klinis dan temuan elektrofisiologi, dari pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf (KHS) sangat penting untuk diagnosis, klasifikasi subtipe dan penentuan prognosis.</p> <p><strong>Tujuan: </strong>Mendeskripsikan spektrum dan karakteristik elektrofisiologi pasien SGB dewasa yang dirawat di RSUD Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, selama periode Januari hingga Mei 2025.</p> <p><strong>Metode: </strong>Mengetahi gambaran dan karakteristik elektrofisiologi pasien GBS dewasa yang dirawat di RSUD Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh selama periode Januari hingga Mei 2025.</p> <p><strong>Hasil: </strong>Pada penelitian ini, sebanyak 16 pasien yang didiagnosis dengan Sindrom Guillain-Barré (GBS) dirawat di RSUDZA antara bulan Januari hingga Mei 2025. Pasien terdiri dari 8 laki-laki (50,0%) dan 8 perempuan (50,0%), dengan rentang usia antara 13 hingga 71 tahun dan rata-rata usia 38,8 tahun. Kelompok usia terbanyak adalah 41–50 tahun, mencakup 37,5% dari seluruh pasien. Semua pasien mengalami kelemahan pada keempat anggota gerak dan penurunan refleks, kecuali satu pasien (6,3%) yang memiliki refleks normal. Dari 16 pasien tersebut, 18,8% memiliki riwayat diare dan 18,8% lainnya mengalami infeksi saluran pernapasan sebelum timbulnya gejala. Hasil pemeriksaan elektromiografi menunjukkan bahwa 84,6% menderita tipe <em>Acute Motor Axonal Neuropathy</em> (AMAN), 7,7% menderita <em>Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy</em> (AMSAN), dan 7,7% didiagnosis dengan Sindrom Miller Fisher. Tidak ada pasien yang terdiagnosis dengan Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).</p> <p><strong>Pembahasan: </strong>Pasien SGB di RSUDZA selama periode Januari–Mei 2025 sebagian besar menunjukkan gambaran klinis klasik seperti kelemahan simetris dan arefleksia, dengan neuropati akson menjadi subtipe elektrofisiologi yang paling umum. Penilaian klinis yang dikombinasikan dengan studi konduksi saraf memainkan peran penting dalam mendiagnosis GBS.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> Sindrom Guillain-Barré, Elektrofisiologi, KHS, neuropati, RSUDZA</p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
https://ejournal.neurona.web.id/index.php/neurona/article/view/883
Duchenne Muscular Dystrophy: Dari Kesadaran Genetik Menuju Kualitas Hidup yang Lebih Baik
2025-12-30T16:58:39+07:00
Mawaddah Ar Rochmah
mar@gmail.com
<p>Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) merupakan salah satu penyakit neuromuskular genetik yang paling sering ditemui pada anak laki-laki, meskipun tergolong penyakit langka. Diturunkan secara X-linked recessive, DMD membawa konsekuensi berat, bukan hanya bagi pasien, tetapi juga bagi keluarganya. Seorang ibu yang menjadi pembawa sifat memiliki kemungkinan menurunkan mutasi gen DMD kepada anak laki-lakinya, dengan risiko nyata lahirnya generasi yang mengalami kelemahan otot progresif sejak usia dini. Kesadaran mengenai pola pewarisan ini menjadi sangat penting, mengingat bahwa diagnosis dini melalui skrining genetik dapat memberikan informasi krusial bagi keluarga untuk mengambil langkah medis dan psikososial yang tepat. DMD bukan sekadar penyakit otot. Dampaknya begitu luas terhadap kualitas hidup anak, yang seiring waktu akan kehilangan kemampuan berjalan, mengalami komplikasi kardiopulmoner, dan bergantung pada perawatan intensif. Keluarga menghadapi beban fisik, emosional, dan finansial yang besar. Oleh karena itu, intervensi medis dan dukungan psikososial menjadi sangat penting. Kualitas hidup pasien dan keluarga harus menjadi fokus utama penanganan, bukan hanya memperpanjang usia, tetapi juga menjamin masa kanak-kanak dan remaja yang lebih bermakna. Di berbagai negara maju, perkembangan gene therapy telah membuka babak baru dalam pengobatan DMD. Pendekatan ini menargetkan penyebab utama penyakit—mutasi pada gen distrophin—sehingga memungkinkan perbaikan fungsi otot secara molekuler. Walau masih menghadapi tantangan biaya, akses, dan evaluasi jangka panjang, terapi ini telah meningkatkan angka harapan hidup dan memperlambat progresivitas penyakit secara signifikan. Sementara itu, di Indonesia, penanganan DMD masih didominasi oleh terapi konservatif. Kortikosteroid, fisioterapi, dukungan nutrisi, terapi okupasi, serta manajemen kardiopulmoner menjadi pilar utama. Perawatan multidisiplin ini terbukti dapat memperlambat perburukan, meningkatkan kualitas hidup, serta memperpanjang usia harapan hidup pasien, yang kini bisa mencapai dekade ketiga kehidupan dengan tata laksana yang baik. Walaupun berbeda dari gene therapy di luar negeri, terapi konservatif tetap memberikan manfaat besar bila dijalankan secara konsisten dan komprehensif. Kesadaran masyarakat terhadap penyakit genetik seperti DMD perlu ditingkatkan. Label “penyakit langka” sering kali membuatnya luput dari perhatian publik, padahal kasusnya nyata dan tidak sedikit di masyarakat. Edukasi tentang pentingnya skrining genetik, pemahaman pola pewarisan, dan penerimaan sosial terhadap anak dengan DMD akan memperkuat dukungan yang dibutuhkan keluarga. Selain itu, keterlibatan pembuat kebijakan untuk memperluas akses diagnostik genetik dan membuka jalan bagi terapi inovatif di masa depan akan sangat menentukan arah penanganan DMD di Indonesia. DMD mengajarkan kita bahwa penyakit genetik bukan sekadar isu klinis, tetapi juga sosial dan kemanusiaan. Anak-anak dengan DMD berhak memperoleh kualitas hidup yang lebih baik, dengan dukungan medis, keluarga, dan masyarakat yang solid. Momentum peningkatan kesadaran publik tentang penyakit genetik harus terus digalakkan, agar stigma berkurang, akses layanan meningkat, dan setiap anak yang lahir dengan DMD memiliki kesempatan hidup yang lebih bermakna.</p>
2025-12-30T00:00:00+07:00
Hak Cipta (c) 2025 Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia